Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal”
adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita
semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.
***
Aku membencinya, itulah yang
selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku
tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari
aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Setelah menikah, aku menjadi
istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku
bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya.
Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah,
aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci
ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak
punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak.
Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar
padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya
bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak
tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya,
aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja
makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya,
saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya
suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia
juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku
berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di
depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba
waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku
ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh
tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan
meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku
letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun
mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang,
aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku
akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya
nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat
keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi
jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal
biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai
merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah
beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar,
terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata
seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan
saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya
terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya
ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku
sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga
hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu
suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di
kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali
tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah
dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari
baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur
pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah
dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang
dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu
saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi
dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak
pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan
vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah
tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak
tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk
anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun
pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih
dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal
teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat
hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan
sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau
tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar
tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia
melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out,
sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa
di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang
biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku
dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku
sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak
ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya
yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang,
tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari
keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.
Semua dilakukan suamiku. Berapa
besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka,
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal
aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu
sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak
sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan
suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
“Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan
kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan
untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan
yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma
selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi
yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri
tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri
yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan
Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun
kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!”
Aku terisak membaca surat itu,
ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama
ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk
menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya
yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan
untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia
duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari
tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau
akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan,
sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti
ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena
tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa
hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku
tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
***
Begitulah penyesalan sang istri
akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia
baru sadar betapa besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini
tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja
yang akan terjadi.
[Sumber: Muslimahzone]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berikan komentar anda