Sosok Risa Saraswati, mungkin lebih dikenal sebagai seorang musisi ketimbang sebagai seorang penulis. Namun, menulis rupanya menjadi passion Risa yang dipelihara sejak lama lewat oretan-oretannya dalam blog pribadinya, pun lirik-lirik lagu dari proyek musikal solonya, Sarasvati. Menuliskan pengalaman pribadinya, kisah-kisah ‘unik’ yang dialaminya ataupun yang dibagi orang lain kepadanya, demikianlah tutur Risa dalam bentuk rangkaian kata-kata.
Kali ini, menulis menjadi lebih spesial bagi Risa di mana dirinya berbagi banyak hal lewat sebuah buku yang baru saja dikeluarkannya, “Danur”. Danur adalah air yang muncul dari jasad makhluk hidup yang telah mati dan membusuk. Selintas pemilihan judul buku ini mungkin akan membuat siapapun mengernyitkan dahi. Namun, “Danur” bukanlah tanpa sembarang maksud, juga tidak menghadirkan pretensi. Bagi yang mengenal sosok Risa Saraswati yang memiliki sejumlah pengalaman dengan alam lain, “Danur” akan menjadi peranti untuk berkenalan dengan sosoknya yang unik secara lebih lanjut.
“Danur” adalah karya tulis dari Risa yang sangat jujur, sama jujurnya dengan karya musiknya di Sarasvati. Buku setebal 214 halaman yang diterbitkan oleh penerbit BUKUNE ini bercerita tentang kisah hidup Risa Saraswati dari sisi yang ‘lain’, berisi paparan-paparan cerita yang mungkin dapat dikatakan tidak lazim. Sejumlah kisah yang unik, tidak konvensional, dan dirasakan sangat perlu bagi Risa untuk dibagi kepada orang-orang yang berkenan membaca bukunya, “Danur”. Buku ini berisikan hal-hal yang sangat intim, yang selama ini tidak pernah Risa bagikan untuk diketahui umum,.
Adalah kehendak Risa agar banyak orang yang mau membaca karyanya dan mau untuk mencoba menyelami hidupnya yang unik. Pada dasarnya, lewat Danur, Risa hanya ingin berbagi, bercerita, dan inilah cara lain baginya untuk menyatakan, “I Sing, I Cry, I Play My Part…” (Pak Dosen)
Risa Saraswati tentang “Danur”
Tak mudah melalui fase kehidupan yang cukup rumit dengan usia yang rasanya belum mampu menghadapi serangkaian peristiwa tidak biasa, tak mudah menjalani hidup sebagai anak-anak normal jika semua yang kuanggap normal ternyata hal-hal tidak normal. Kuanggap tembok adalah benda hidup, sama seperti kalian.. teman-teman yang bisa kuajak berinteraksi untuk mendiskusikan apapun yang kuanggap penting. Kuanggap pohon adalah makhluk bergerak yang setiap saat bisa saja kumintai bantuan, yang setiap saat ikut bergerak saat kumelangkah, dan setiap saat melihat apa yang akan kulakukan..mencermati isi kepalaku.
Tubuhku begitu kecil saat kutahu kelima sahabatku ternyata onggokan belulang manusia tanpa kepala yang jelas jauh berbeda denganku yang masih bisa berdiri tegap, melangkah bebas, menapaki tanah, dan nyata untuk diraba. Bukan takut yang menyergap, perasaan iba muncul ke permukaan melebihi apapun yang pernah kurasakan terhadap makhluk-makhluk sepertiku.
Aku masih belia ketika akhirnya kelimanya pergi meninggalkanku sendiri ditengah bau Danur yang semakin mengusik hari-hariku. Kalian tahu apa itu Danur? Danur adalah air yang muncul dari jasad mahkluk hidup yang telah mati dan membusuk. Kututup penciumanku, kututup mataku, kututup hatiku untuk Danur-Danur baru yang muncul sepeninggal mereka.
Berjuang menyeimbangkan langkah agar tetap merasa normal hingga akhirnya kutemukan cara agar semuanya terasa baik-baik saja. Tak selamanya Danur itu menyengat dan membuatku lunglai, kelima sahabatku pergi…namun segala sesuatunya selalu sama, kepergian mereka mendatangkan sahabat-sahabat baru untukku. Pengalaman-pengalaman baru, kisah-kisah baru. Drama… selalu dipenuhi drama.
Telah kubuka gerbang dialog antara aku dan dunia mereka, telah kurangkai kisah-kisah baru. Penciumanku tetap tertutup rapat, namun kini telinga, mata, hati, dan pikiranku terbuka lebar untuk mereka..
Tak selamanya Danur itu menjijikkan…
Karena kini aku bisa mencium banyak wewangian yang muncul karenanya…
Peter, William, Hans, Hendrick, Janshen, Samantha, Jane, Ardiah, Edwin, Teddy, Sarah, Elizabeth, Kasih… adalah beberapa tokoh dari sekian banyak sahabat di proses hidupku hingga kini…
Cerita tentang mereka kurangkum dalam sebuah karya yang kuberi nama, “Danur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berikan komentar anda