Takahashi, 5 Menit Menuju ke Surga
– Kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.
Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)
Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)
Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).
Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo
benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama
Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)
Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)
Percakapan pendek ini kemudian berlanjut
menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk
belajar dan mengajar agama Islam.
Setelah beberapa bulan bersyahadat,
Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari
makanan haram menurut hukum Islam.
Memilih dengan hati-hati dan baik, mana
yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan
kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun
mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari
Takahashi.
“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni
ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah
cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu
hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang
kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang
memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.
Toko kecil makanan halal milik keluarga
Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal.
Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia
ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di
plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati,
Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya,
sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.
Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan
sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi
ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke
kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang
dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam
memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar
dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Pernah dalam suatu percakapan tentang
suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya
menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang,
suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja
memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas
masing-masing.
Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit,
Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa
bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita,
nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat
ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang
tahu, kecuali Takahashi.
Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.
“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.
Dengan proses yang panjang, akhirnya dia
mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan
sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah
Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati
mereka yang telah hadir di dunia ini.
Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”
“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.
“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.
“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.
“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.
“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.
“Saya sungguh ingin mantap dengan
Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang
kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku.
Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.
“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.
Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.
Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu
untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita
lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh
sangat berharga sekali bagi Takahashi.
Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berikan komentar anda